Rabu, 26 Oktober 2016

Bagaimana Sesungguhnya keadaan hutan Indonesia kita saat ini ???

Indonesia diberkahi dengan hutan-hutan tropis terluas dan beragam hayati di dunia. Puluhan juta rakyat Indonesia secara langsung bergantung pada hutan-hutan ini untuk kehidupan mereka, entah itu mengumpulkan hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari atau bekerja di sektor pengolahan kayu. Hutan-hutan ini adalah rumah bagi banyak flora dan fauna yang tak tertandingi di negara dengan ukuran yang sebanding manapun. Bahkan saat ini, hampir setiap ekspedisi ilmiah yang dilakukan di hutan tropis Indonesia kembali dengan penemuan spesies baru. Namun tragedi sedang berlangsung di Indonesia. Negara ini sekarang berada pada pusat perhatian dunia, dengan kemarahan domestik dan internasional atas kerusakan yang merajalela pada sumber daya alam yang besar. "Keajaiban ekonomi" di Indonesia dari tahun 1980-an dan 1990-an ternyata telah didasarkan, sebagiannya, pada kehancuran ekologis dan penyalahgunaan hak dan adat istiadat masyarakat setempat. Sebagai contoh, salah satu sektor yang paling cepat berkembang di negara itu, industri pulp dan kertas, belum mendirikan perkebunan yang diperlukan untuk menyediakan pasokan yang cukup dari kayu pulp. Sebaliknya, penghasil pulp sebagian besar bergantung pada pembukaan hutan alam. Perekonomian tersebut dipenuhi oleh pelanggaran hukum dan korupsi. Penebangan liar telah merajalela selama bertahun-tahun dan diyakini telah menghancurkan sekitar 10 juta hektar hutan. Industri pengolahan kayu di Indonesia beroperasi di ketidakjelasan hukum, dimana perusahaan-perusahaan besar yang---sampai krisis ekonomi tahun 1997---menarik miliaran dolar investasi dari Barat, memperoleh lebih dari setengah pasokan kayu dari sumber-sumber ilegal. Kayu secara rutin diselundupkan melintasi perbatasan ke negara-negara tetangga, membuat jutaan dolar pendapatan pemerintah Indonesia hilang setiap tahunnya. Meskipun bukti-bukti kehancuran yang dikumpulkan menggunung, keluruhan gambaran telah dibuat rumit oleh data yang bertentangan, dis-informasi, klaim-klaim dan tandingannya. Kebutuhan untuk penilaian yang objektif dari situasi ini sudah mendesak - kebutuhan akan informasi dasar yang kuat untuk setiap individu dan organisasi yang berusaha membawa perubahan yang positif. Kesulitan mendapatkan data dirasa sangat besar, namun laporan ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan itu. Laporan ini memberikan ringkasan yang komprehensif tentang skala dan laju perubahan yang memengaruhi hutan Indonesia dan mengidentifikasi kekuatan dan para pelaku yang menyebabkan deforestasi. Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch telah mengumpulkan data resmi terbaik yang tersedia beserta laporan dari pemerhati lingkungan di lapangan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Berapa banyak hutan Indonesia yang tersisa, dan berapa banyak yang telah hilang selama 50 tahun terakhir? Bagaimana kondisi hutan yang masih tersisa saat ini? Apa kekuatan pendorong utama di belakang deforestasi, dan siapa yang merupakan pelaku utama? Mengingat kondisi politik dan ekonomi saat ini di Indonesia, bagaimana prospek reformasi kebijakan kehutanan? Temuan kami tidak menyediakan dasar untuk optimisme yang cukup kuat, meskipun tanda-tanda yang jelas dari perubahan di Indonesia. Donor bilateral dan multilateral utama sekarang bekerja secara aktif dengan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan strategi dan rencana aksi untuk melakukan reformasi. Kementerian Kehutanan Indonesia berkomitmen untuk menerapkan tindakan spesifik di tingkat nasional dan baru-baru ini mengesahkan rencana berskala besar untuk memerangi penebangan liar. Namun walaupun reformasi kebijakan saat ini berhasil, sangat jelas bahwa Indonesia berada dalam masa transisi dari negara yang kaya akan hutan ke negara yang miskin akan hutan, seperti yang telah terjadi di Filipina dan Thailand. Jutaan hektar bekas hutan sekarang tertutup sisa-sisa hutan yang telah terdegradasi, semak belukar, dan rumput alang-alang disana-sini. Dengan hilangnya hutan, Indonesia kehilangan keanekaragaman hayati, pasokan kayu, pendapatan, dan jasa ekosistem. Lahan hutan yang rusak dapat ditanami kembali dan dikelola oleh manusia untuk menyediakan kayu, hasil kebun, buah-buahan, dan produk-produk non-kayu lainnya. Jasa ekosistem seperti pengaturan air tawar dan retensi tanah dapat dikembalikan. Bagian dari tragedi di hutan Indonesia adalah bahwa saat ini program hutan tanaman industri dan sistem konversi hutan ke perkebunan belum memberikan kontribusi untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan justru mempercepat deforestasi. Secara resmi, keputusan dalam sektor kehutanan tidak lagi berorientasi pada pembukaan dan konversi lahan tetapi, dalam kenyataannya, pembukaan dan konversi masih terus dipraktekkan. Sistem ini harus direstrukturisasi dengan mengharuskan pembangunan perkebunan baru di wilayah lahan kritis yang sudah tersedia untuk penanaman. Persyaratan ini harus ditegakkan. Indonesia berada di persimpangan jalan di mana banyak sumber daya alam yang telah hancur atau rusak, tapi masih banyak juga yang terjaga. Pengembangan lahan perkebunan untuk memasok kayu dan ekspor tanaman berharga adalah bagian penting dari strategi ekonomi negara. Dalam tahun-tahun mendatang, jalan termudah adalah dengan terus mengizinkan operasi penebangan dan perkebunan - dan membiarkan semakin banyak tanah disia-siakan seiring pengembangannya -- dan kemudian terus merambah ke hutan-hutan alam yang tersisa, dan memberikan keuntungan bagi pengembang dengan profit besar secara cuma-cuma. Jalan yang lebih sulit namun berkelanjutan adalah merebut kembali lahan yang saat ini menganggur dan melestarikan hutan primer yang masih tersisa. Enam puluh empat juta hektar hutan telah ditebang selama 50 tahun terakhir. Tidak ada pembenaran ekonomi maupun etika untuk membiarkan 64 juta hektar lagi hilang selama 50 tahun ke depan. berdasarkan dari wacana tersebut coba kita berpikir sejenak bagaimana dampak - dampak yang diakibatkan oleh para pelaku illegal logging terhadap bumi kita ????
dampak - dampak yang diakibatkan oleh para pelaku illegal logging sudah jelas terlihat yang sering di depan kita yaitu banjir & tanah longsor di kawasan perbukitan yang sering terjadi di kawasan perkampungan, juga semakin tipisnya lapisan ozon di bumi kita karena tidak adanya penyerapan CO2 yang mnegkibatkan bumi kita menjadi terasa sangat panas
namun peristiwa longsor yang terjadi di daerah perbukitan di kawasan perkampungan sebenarnya tidak lain disebabkan oleh human error (warga - warga yang berada di sekitar kawasan hutan/ perbukitan itu sendiri), mereka melakukan hal seperti itu dengan alasan yang sangat dominan yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dengan diketuai oleh orang - orang atau investor asing.
sampai saat ini kegiatan Penghijauan ataupun reboisasi terus diupayakan namun illegal logging tetap saja masih terus bergulir dan terjadi di Indonesia negeri kita tercinta ini, salah satu faktor yang juga mempengaruhi seringnya terjadi peristiwa ini yaitu keterkaitan pemerintah setempat itu sendiri, para penebang liar meminta izin kepada pemerintah setempat untuk dapat menebang pohon - pohon yang dilindungi secara liar dengan adanya kongkalikong antara para penebang liar dengan pemreintah daerah tersebut dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan wilayah tersebut, namun pemerintah setempat tidak berpikir panjang bagaimna dampak negatif dari penebangan liar tersebut dan pemerintah hanya memikirkan dampak - dampak dengan jangka pendek namun tidak memikirkan dampak jangka panjang yang diakibatkan oleh illegal logging tersebut
berdasarkan wacana - wacana yang ada cobalah kita sadari bersama sebenarnya tidak hanya masyarakat Indonesia saja yang harus terlibat untuk mngetasi ini semua tapi juga pemerintah pusat & juga para pemerintah daerah di Seluruh Indonesia agar menyadari betapa pentingnya Penghijauan atau reboisasi ini yang sangat berdampak bagi anak cucu kita nantinya, dan juga negeri kita akan menjadi negeri yang kaya akan hutan (vegetasi) dan juga fauna - faunanya.

Senin, 24 Oktober 2016

Proposal Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Pematangsiantar

Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Pematangsiantar
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi seperti industri, jalan, pusat-pusat pertokoan dan kebutuhan lainnya. Peningkatan kebutuhan ekonomi telah memicu adanya penurunan kuantitas tutupan vegetasi dalam suatu kota. Lahan-lahan bervegetasi tersebut seperti taman kota, pekarangan, jalur hijau sebagai peneduh jalan, peredam kebisingan, penyerap karbondioksida, dan penghasil oksigen telah banyak dialihfungsikan menjadi sarana penunjang ekonomi. Pembangunan dan perkembangan kota semacam ini akan mengakibatkan keberadaan ruang terbuka hijau sebagai salah satu komponen ekosistem kota menjadi kurang diperhatikan. Keadaan ini menjadi sangat memprihatinkan, mengingat di satu pihak kebutuhan akan oksigen semakin meningkat tetapi di lain pihak penyedia oksigen semakin berkurang. Perbedaan akan kebutuhan oksigen tersebut menyebabkan hubungan yang kurang harmonis antara manusia dengan lingkungan yang berakibat pada lingkungan perkotaan yang hanya maju secara ekonomi namun mundur secara ekologi yang akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Hal ini yang dicirikan oleh meningkatnya kadar CO2, meningkatnya pencemaran lingkungan, terjadinya hujan asam, dan munculnya wabah penyakit. Di samping itu terjadi polusi suara atau bunyi yang berupa tingginya tingkat kebisingan. Ruang terbuka hijau diharapkan dapat menanggulangi masalah lingkungan di perkotaan. Berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007, ruang terbuka hijau minimal menempati 30% luas wilayah perkotaan. Selanjutnya dipertegas dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH di kawasan Perkotaan, bahwa proporsi tersebut merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat kota. Setiap hari manusia membutuhkan oksigen. Tanpanya manusia akan mengalami gangguan kesehatan yang serius. Kedudukan ruang terbuka hijau disebut sebagai paru-paru kota karena merupakan produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya. Fungsi ini merupakan salah satu aspek berlangsungnyafungsi daur ulang antara gas karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2), hasil fotosintesis khususnya pada dedaunan. Mangunsong dan Sihite (rijal), 2008 mengemukakan bahwa 1 ha ruang terbuka hijau mampu menyerap CO2 yang dikeluarkan oleh 2000 orang manusia atau 5 m² per penduduk. Mengingat jumlah penduduk yang semakin meningkat, tidak dipungkiri lagi bahwa keberadaan ruang terbuka hijau sangat diperlukan untuk menjamin pasokan oksigen bagi penduduk. Informasi yang akurat, cepat dan efisien tentang lokasi, sebaran dan luas ruang terbuka hijau akan sangat membantu dalam perencanaan pembangunan ruang terbuka hijau. Dengan itu perlu diketahui berapa luasan ruang terbuka hijau yang tersedia sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Keberadaan ruang terbuka hijau sangat diperlukan bagi wilayah perkotaan seperti Pematangsiantar. Kota Pematangsiantar memiliki luas wilayah 79,791 km² dengan jumlah penduduk mencapai 236.893 jiwa dengan kepadatan penduduk yang mencapai 2.962 jiwa/km² (BPS. 2012). Pertumbuhan penduduk di Kota Pematangsiantar yang berbeda setiap tahunnya sangat mempengaruhi kebutuhan akan ruang terbuka hijau. Persentase pertumbuhan penduduk pada tahun 2011 yaitu mencapai 0,8% (BPS. 2012) akan semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk di waktu mendatang. Maka kebutuhan akan ruang terbuka hijau penduduk Kota Pematangsiantar pun akan semakin bertambah. Lokasi yang ditunjuk pemerintah Kota Pematangsiantar sejak tahun 2009 sampai dengan sekarang sebagai ruang terbuka hijau seluas 25,5 Ha dengan ditetapkan sebanyak 16 (enam belas) lokasi yang berada di 8 Kecamatan (Badan Lingkungan Hidup Kota Pematangsiantar, 2009). Selain menambah nilai estetika dan keasrian kota, ruang terbuka hijau juga menciptakan iklim mikro yang lebih sejuk, menjaga keseimbangan oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2), mengurangi polusi, serta mampu mempertahankan ketersediaan air tanah. Menurunnya kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau (RTH), akan mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan seperti udara dan air bersih. Penurunan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh banyaknya jumlah karbondioksida CO2 yang dihasilkan ileh kendaraan bermotor. Jumlah kendaraan bermotor di Kota Pematangsiantar pada tahun 2011 sebanyak 124.832 unit (BPS. 2012). Keberhasilan pemerintah dalam usahanya untuk mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan juga ditentukan oleh adanya partisipasi masyarakat. Partispasi merupakan kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam mengkonsepsikan sesuatu yang disebut baik oleh mereka (Fear, 1990 dalam Pancawati, 2010). Pemerintah kota harus dapat mengelola ketersediaan RTH dalam wilayahnya sesuai dengan keinginan masyarakat, juga ketersediaan lahan dan peruntukan tata ruang kota. Wujud dan manfaat RTH yang sesuai dengan harapan dan keinginan warga kota, akan memeberikan rasa nyaman, sejahtera, juga rasa bangga dan rasa memiliki akan RTH tersebut. Keterlibatan masyarakat akan secara langsung maupun tidak langsung dapat menciptakan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat untuk menajaga dan memelihara kawasan RTH di lingkungan mereka.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka yang menjadi identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah (1) pertumbuhan penduduk yag terus bertambah, ruang terbuka hijau yang terus berkurang, (2) penggunaan lahan ruang terbuka hijau, (3) ketersediaan O2 dari ruang terbuka hijau, (4) pemeliharaan ruang terbuka hijau.
Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan yang dikemukakan dalam identifikasi masalah, maka yang menjadi batasn masalah dalam penelitian ini hanya mengungkapkan kecukupan ruang terbuka hijau yang dilihat dari kondisi ekisting, serta kebutuhan luasan ruang terbuka hijau pada masa yang akan datang di Kota Pematangsiantar Propinsi Sumatera Utara.
Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah : Bagaimana kondisi eksisting Euang Terbuka Hijau di Kota Pematangsiantar dalam Citra Satelit Kota Pematang siantar ? Berapa luasan Ruang Terbuka Hijau yang dibutuhkan berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk serta kebutuhan oksigen di Kota Pematang siantar pada tahun 2018 ?
Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : Untuk mengetahui kondisi eksisting Ruang Terbuka Hijau di Kota Pematangsiantar dalam Citra Satelit Kota Pematangsiantar. Untuk mengetahui luas Ruang Terbuka Hijau yang dibutuhkan berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk serta kebutuhan oksigen di Kota Pematangsiantar pada tahun 2018.
Manfaat Penelitian
Setelah selesai mengadakan penelitian ini maka diharapkan dapat memeberikan manfaat sebagi berikut : Sebagai sumbangan teoritis bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam pengkajian geografi Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi terkait dalam mengambil keputusan dan kebijakan mengenai ruang terbuka hijau di Kota Pematangsiantar. Untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah serta melatih menerapkan teori yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan. Sebagai bahan informasi bagi penulis lain yang membahas tentang ruang terbuka hijau.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Kerangka Teori
Pengertian Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka (open space) adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalm kurun waktu tidak tertentu. Ruang terbuka bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya (Hakim, 2000). Sedangkan ruang hijau (green space), yang dapat berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk danau, bantaran sungai, bantaran kereta api, saluran /jaringan listrik tegangan tinggi, dan berbentuk simpul (nodes), berupa taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, lahan pertanian kota, dan lainnya sebagai Ruang Terbuka Hijau. Ruang terbuka didefinisikan berupa ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bemtuk memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, yang pada dasarnya tanpa bngunan (Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988). Ruang terbuka tidak harus diisi denga tumbuhan, atau di dalamnya hanya terdapat sedikit tumbuhan. Ruang terbuka sebagai keseluruhan lansekap, pekerasan (jalan/trotoar), taman dan tempat rekreasi di dalam kota. Ruang terbuka sendiri adalah ruang terbuka yang ditumbuhi oleh tumbuhan dan vegetasi berkayu di wilayah perkotaan dan berfungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebesar-besarnya dan bermanfaat bagi penduduk kota (Frick dan Mulyani (Yoga,2009)). Secara definitif, ruang terbuka hijau (green open space) adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau budidaya pertanian (Hakim, 2000). Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kualitas air dan tanah, ruang terbuka hijau di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota. Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, ruang terbuka hijau didefinisikan sebagai area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik tanaman yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam, tepi jalan, jalur tol, jalur kereta api, bangunan, lahan terbuka, kawasan padang rumput, kawasan industri, kawasan lingkungan, kawasan perdagangan dan kawasan luar kota. Peraturan Menetri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008. Menjelaskan bahwa penyelenggaraan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, ditujukan untuk tiga hal, yaitu : 1) menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air, 2) menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat, dan 3) meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman linigkungan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.
Fungsi dan manfaat Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau tidak hanya berfungsi sebagai pengisi ruang dalam kota, namun juga harus dapat berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem kota untuk kelangsingan fungsi ekologis dan berjalannya fungsi kota yang sehat dan wajar (Crowe, 1981 dalam Pancawati, 2010). Ruang terbuka hijau mempunyai fungsi sebagai pencipta kenyamanan bagi manusia melalui faktor iklim, yaitu suhu, radiasi matahari, curah hujan, dan kelembaban. Vegetasi dapat menyerap panas dari radiasi matahari dan memantulkannya sehingga dapat menurunkan suhu mikroklimat. Vegetasi mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan. Peranan ruang terbuka hijau sangat tergantung pada vegetasi yang ditanam. Dari berbagai peranan dan manfaat vegetasi maka menurut Irwan (2008), manfaat dan fungsi penghijauan atauh ruang terbuka hijau adalah untuk hal-hal berikut : Paru-paru kota, tanaman sebagai elemen hijau, pada pertumbuhannya menghasilkan zat asam (O2) yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup untuk pernapasan. Pengatur lingkungan (mikro), vegetasi akan menimbulkan lingkungan setempat sejuk, nyaman, dan segar. Pencipta lingkungan hidup, penghijauan dapat menciptakan ruang hidup bagi makhluk hidup di alam yang memungkinkan terjadinya interaksi secara alamiah. Penyeimbangan alam (edaphis), merupakan pemebentukan tempat hidup alami bagi satwa yang hidup di sekitarnya. Oro-hidrologi, pengendalian unutk penyediaan air tanah dan pencegahan erosi. Perlindungan terhadap kondisi fisik alami sekitarnya, seperti angin kencang, terik matahari, gas atau debu. Mengurangi polusi udara, vegetasi dapat menyerap volutan tertentu. Vegetasi dapat menyaring debu dengan tajuk dan kerimbunan dedaunannya. Mengurangi polusi air, vegetasi dapat membantu memebersihkan air. Mengurangi polusi suara (kebisingan), vegetasi dapat menyerap suara. Keindahan (estetika), dengan terdapatnya unsur-unsur penghijauan yang direncanakan dengan baik dan menyeluruh akan menambah keindahan kota. Kesehatan, warna dan karakter tumbuhan dapat digunakan untuk terapi mata dan jiwa. Rekreasi dan pendidikan, jalur hijau dengan aneka vegetasi mengandung nilai-nilai ilmiah. Nilai pendidikan, komunitas vegetasi yang ditanam dengan keanekaragaman jenis dan karakter akan memeberikan nilai ilmiah sehingga sangat berguna untuk pendidikan, seperti hutan kota merupakan laboratoriium alam. Sosial, politik, dan ekonomi. Tumbuhan mempunyai nilai sosial yang tinggi. Tamu Negara datang ,misalnya menanam pohon tertentu di tempat yang sudah disediakan. Begitupula vegetasi memberikan hasil yang mempunyai nilai ekonomi seperti bunga, buah, kayu, dan sebagainya. Penghijauan perkotaan dapat menjadi indikator atau petunjuk bagi lingkungan, kemungkinan ada hal-hal yang membahayakan yang terjadi atas pertumbuhan dan perkembangan kota. Menurut Irwan (2008), secara garis besar fungsi ruang terbuka hijau dapat dikelompokkan menjadi tiga fungsi yaitu, 1) fungsi lansekap yang meliputi fungsi fisik dan fungsi sosial, 2) fungsi pelestariab lingkungan (ekologi), 3) fungsi estetika. Ruang terbuka hijau dapat membentuk karakter kota, memberikan kenyamanan, dan mennjaga kelangsungan hidupnya. Secara lebih spesifik dijelaskan bahwa ruang terbuka hijau memiliki fungsi sebagai 1) menjaga kualitas lingkungan, 2) penyumbang ruang bernafas yang segar dan indah, 3) paru-paru kota, 4) penyangga sumber air tabah, 5) pencegah erosi, serta 6) sebagi unsur dan sarana pendidikan (Simonds dalam Pancawati, 2010. Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988, bahwa ruang terbuka hijau mempunyai fungsi dan manfaat sebagai beikut. Perlindungan ekosistem dan penyangga kehidupan. Sarana menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan kenyamanan. Sarana rekreasi yang sangat dibutuhkan oleh penduduk kota. Pengaman pencemaran (darat, air, udara). Bahan pencemar akan diserap dan dijerap oleh tanaman. Sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran lingkungan. Tempat perlindungan plasma nutfah. Sarana perbaikan iklim mikro, mempertahankan kualitas lingkungan. Pengatur tata air/Hidrologi. Pemanfaatan ruang terbuka hijau harus dibangun dalam sebuah sistem yang saling berinteraksi dengan kondisi lingkungan dimana ruang terbuka hijau ini berada (Ariyadi, 2009). Pemanfaatan ruang terbuka hijau tidak lepas pula dari pengelolaan dan fungsinya. Ariyadi (2009) menyimpulkan secara detail pemanfaatan sistem ruang terbuka hijau sesuai dengan arahan peruntukan dan lingkungan ini dapat diuraikan sebagi berikut : Ruang terbuka hijau untuk kaitan produksi, seperti lahan untuk kehutanan, pertanian, produksi mineral, sumber air, komersial dan rekreasi. Ruang terbuka hijau untuk preservasi sumberdaya alam dan manusia, terdiri dari rawa untuk habitat tertentu, hutan untuk satwa, bentukan geologi, batukarang, tempat-tempat bersejarah dan pendidikan. Ruang terbuka hijau untuk kesehatan dan kesejahteraan umum, seperti lahan untuk melindungi kualitas air, penimbunan sampah, memperbaiki kualitas udara, area rekreasi, dan area lansekap. Ruang terbuka hijau untuk keamanan umum, seperti waduk, pencegah banjir, dan buufer zone runway. Ruang terbuka hijau sebagai koridor, seperti jalur hijau jalan, jalur hijau sungai. Manfaat yang dapat diperoleh dari ruang terbuka hijau adalah 1)member kesegaran, kenyamanan dan keindahan lingkungan, 2) memberikan lingkungan yang bersih dan sehat bagi penduduk kota, 3) memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga, dan buah serta biji atau hasil lainnya.
Bentuk Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, ruang terbuka hijau dikelompokkan dalam empat jenis yakni: 1) ruang terbuka hijau pekarangan, 2) ruang terbuka hijau tanam dan hutan kota, (3) ruang terbuka hijau jalur hijau jalan, dan (4) ruang terbuka hijau fungsi tertentu (termasuk di dalamnya ruang terbuka sempadan badanair dan pemakaman). Berdasarkan bentuknya, ruang terbuka hijau bisa berupa taman-taman kota, taman lingkungan, taman jalur jalan, taman jalur hijau, play lot, play ground, play field, kebun binatang, kebun raya maupun makam pahlawan (Fandeli DKK, 2004). Secara struktur, Supriyanto (2009) menjelaskan bentuk dan susunan ruang terbuka hijau dapat dapat merupakan kombinasi antara ekologis, dan manajemen pemerintahan dengan uraian sebagai berikut: Ekologis adalah ruang terbuka hijau yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, maupun pesisir. Planologis merupakan ruang-ruang yang berbentuk mengikuti pola struktur kota seperti ruang terbuka hijau perumahan, ruang terbuka hijau kelurahan, ruang terbuka hijau kota maupun taman regional atau nasional. Manajemen Pemerintahan adalah kemampuan aparatur birokrasi pemerintahan dalam “mengelola” dan “memanajemen” atau “menata” ruang terbuka hijau yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti adanya bisnis tanaman-tanaman kota, perawatan taman kota yang dapat menambah tenaga kerja. Disisi lain dapat menghidupkan kota sebagai tempat wisata. Irwan (2008), mengelompokkan ruang terbuka hijau berdasarkan fungsi lingkungan yang terkait dengan suhu, kelembaban, kebisingan, dan debu. Bentuk ruang terbuka hijau dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu : Bergerombol atau menumpuk, yaitu ruang terbuka hijau dengan komunitas vegetasinya terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat yang tidak beraturan. Menyebar, yaitu ruang terbuka hijau yang tidak mempunyai pola tertentu, dengan komunitas vegetasinya tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil. Berbentuk jalur, yaitu komunitas vegetasinya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran, dan sebagainya. Berbeda dengan Irwan, Fandeli dalam Pancawati, 2010 mengklasifikasikan ruang terbuka hijau berdasarakan kawasan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya. Menurutnya, kawasan hijau kota terdiri atas kawasan pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan dan olah raga, dan kawasan hijau pekarangan.
Kebutuhan Luas Ruang Terbuka Hijau Sampai saat ini, rumusan perhitungan penentuan luas kebutuhan ruang terbuka hijau untuk memenuhi syarat lingkungan kota yang berkelanjutan, masih tebatas pada penentuan luas secara kuantitatif (Pancawati 2010). Luas ruang terbuka hijau tersebut masih harus disesuaikan dengan factor penentu lainnya, seperti geografis, iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, luas kota, kebutuhan akan oksigen, rekreasi, dan sebaginya. Ariyadi (2009) menyimpulkan, bahwa kepastian tentang kebutuhan yang disyaratkan untuk membangun ruang terbuka hijau belum ditetapkan secara definitif. Undang-undang menyebutkan minimal 30% sementara peraturan menteri dalam negeri menyebutkan minimal 20%. Namun untuk lebih jelasnya, maka acuan inidapat dipertimbangkan, yakni : Besarnya proses netralisasi CO2, ruang terbuka hijau membutuhkan kurang lebih 36% dari luas area kota Berdasarakan kebutuhan air, ruang terbuka hijau yang dibutuhkan setara dengan 24% ruang kota Berdasarkan jumlah penduduk berkisar antara 1.200 orang/Ha sampai 50 orang/Ha Berdasarkan luas kota, berkisar antara 10%-30% tergantung dari lokasi Perhitungan luas minimum kebutuhan ruang terbuka hijau perkotaan secara kuantitatif dapat didasarkan pada: (1) luas wilayah, yaitu minimal 30% dari total luas wilayah, (2) jumlah penduduk, yakni 1 ha ruang terbuka hijau mampu menyerap CO2 yang dikeluarkan oleh 2000 orang manusia atau 5 m² per penduduk (mangunsong dan Sihite, dalam Rijal 2008), (3) kebutuhan fungsi tertentu (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008). Kebutuhan fungsi tertentu dikaitkan dengan isu-isu penting di suatu wilayah perkotaan, antara lain kebutuhan oksigen, ketersediaan air, atau pencemaran udara. Kebutuhan luas ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk dapat ditentukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk dengan standar luas ruangterbuka hijau per penduduk (Rijal 2008). Prediksi jumlah penduduk beberapa tahun kemudian dapat menggunakan proyeksi penduduk. Proyeksi jumlah penduduk menggunakan metode Geometric rate of growth, yaitu pertumbuhan penduduk dengan menggunakan dasar bunga berganda (bunga majemuk). Jadi pertumbuhan penduduk dimana angka pertumbuhan (rate of growth = r) adalah sama untuk setiap tahun (Ritonga et al. 2003 dalam Gratimah, 2009). Luasan ruang terbuka hijau berdasarkan pemenuhan oksigen dapat dilihat dari kemampuan ruang terbuka hijau dalm memenuhi kebutuhan oksigen manusia. Ruang terbuka hijau yang dipenuhi dengan pepohonan, sebagai paru-paru kota merupakan produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya. Peran pepohonan yang tidak dapat digantikan oleh yang lain ini berkaitan dengan penyediaan oksigen bagi kehidupan manusia. Menurut Wisesa dalam Nurhayani 2012, setiap satu hektar ruang terbuka hijau diperkirakan mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1500 penduduk per hari, sehingga dapat bernafas dengan lega. Kebutuhan oksigen yang dimaksud adalah oksigen yang digunakan oleh manusia. Untuk mengetahui kebutuhan oksigen di suatu areal perkotaan maka perlu mengetahui jumlah penduduk yang ada. Kebutuhan oksigen untuk manusia dapat dihitung dengan rumus yang dikemukakan oleh Kunto dalam Baharuddin 2011, yaitu rumus : luas ruang terbuka hijau=((0,04xjumlah penduduk)+(0,03xjumlah kendaraan))/20 Dari rumus di atas , dapat dilihat bahwa luasan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen penduduk dapat diketahui dengan hasil jumlah antara jumlah penduduk dan jumlah kendaraan setelah dikali dengan kebutuhan rata-rata oksigen kemudian dibagi dengan kemampuan rata-rata 1 ha hutan menghasilkan oksigen.
Penelitian Relevan
Rijal, (2008) dengan penelitian yang berjudul Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Makassar Tahun 2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan penduduk setiap tahun berbanding lurus dengan kebutuhan akan ruang terbuka hijau. Dari data tahun 2000 misalnya, dengan jumlah penduduk 1.112.688 jiwa maka membutuhkan ruang terbuka ruang terbuka hijau seluas 556,34 Ha. Tahun 2001 terlihat bahwa terjadi pertambahan jumlah penduduk dari tahun sebelumnya menjadi 1.130.384 jiwa sehingga membutuhkan ruang terbuka hijau seluas 565,19 ha. Tahun 2007 memeperlihatkan pertumbuhan penduduk yang pesat dengan laju 1,67, penduduk Kota Makassar menjadi 1.235.239 jiwa sehingga ruang terbuka hijau yang dibutuhkan untuk menyerap CO2 yang dikeluarkan oleh setiap penduduk Kota Makassar seluas 617,62 ha. Analisis bunga berganda yang digunakan untuk memprediksi pertumbuhan dan jumlah penduduk sepuluh tahun kemudian (2007-2017) di Kota Makassar menunjukkan jumlah penduduk sebesar 2.274.383 jiwa dengan kebutuhan terhadap ruamg terbuka hijau seluas 1.137,19 ha. Baharuddin, (2011) Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Pada Kawasan Pusat Kota Jayapura. Dengan melihat pentingnya permasalahan penyediaan ruang terbuka hijau bagi perkembangan Kota Jayapura secara umum di masa yang akan datang dan pada kawasan pusat Kota Jayapura pada khususnya, maka dilakukan kajian mengenai kebutuhan ruang terbuka hijau di kawasan pusat Kota Jayapura agar dapat diketahui jumlah kebutuhan luas ruang terbuka hijau untuk mendukung perkembangan kawasan pusat Kota Jayapura. Adapun hasil dari penelitian ini adalah (1) berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan standar 30% dari total luas wilayah pusat kota Jayapura maka luas ruang terbuka hijau yang dibutuhkan adalah 216 Ha, dan bila ditinjau dari luas ruang terbuka hijau yang ada pada saat ini yaitu seluas 81,4 Ha maka masih terdapat kekurangan, (2) dari analisa kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk dengan menggunakan standar Pedoman Perencanaan Permukiman Kota (Direktorat Jenderal Cipta Karya, 1987) menunjukkan bahwa pada tahun 2010 kebutuhan ruang terbuka hijau di pusat Kota Jayapura berupa taman dan tempat bermain adalah seluas 2,62 Ha; taman kota seluas; 1,31 Ha; dan lapangan olahraga seluas 3,67 Ha. Dari hasil perhitungan tersebut maka hanya taman kota saja yang saat ini telah memenuhi luasan minimal. Syamsu, (2008) Perencanaan Hutan Kota Dengan Sistem Informasi Geografis Di Kota Watampone. Data yang telah dikumpulkan dari inventarisasi dan survey serta wawancara dianalisis dan dibandingkan dengan penutupan lahan Kota Watampone dengan bantuan analisis SIG dan Peta dari Google Earth dan penggunaan analisis kebutuhan ruang terbuka hijau dengan pendekatan ekologis. Kota Wantampone telah menunjukkan tiga lokasi renacana pembangunan hutan kota yang berada di dua kecamatan yaitu Tanete Riattang Barat (satu lokasi) dan Tanete Riattang (dua lokasi) yang masing-masing memiliki luas leibih kurang dua hektar. Lokasi hutan kota di Kecamatan Tanete Riattang Barat berada tepat di wilayah pengembangan kota untuk perdagangan yakni pada daerah pembangunan Terminal Petta Ponggawae dan pembangunan Pasar Sentral Watampone. Dua lokasi lainnya berada pada wilayah Kecamatan Tanete Riattang yakni pada wilayah pengembangan sarana prasarana olah raga Macanang yakni sekitar GOR Macanang seluas dua hektar dan kawasan penimbunan sampah di daerah Wellalange seluas dua hektar.
Kerangka Berpikir
Peningkatan jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatan kegiatan perekonomian dan pembangunan telah menyebabkan permasalahan perubahan penggunaan lahan dari lahan-lahan tutupan vegetasi menjadi lahan-lahan terbangun. Kebutuhan lahan untuk pemukiman, dan lahan penunjang kegiatan ekonomi yang telah pula meningkatkan kepadatan sarana transportasi kendaraan dan jumlah industri yang ada di lokasi penelitian. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka msyarakat Kota Pematangsiantar akan sangat sulit memperoleh udara bersih, yang bebas dari bahan-bahan pencemar yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dan industri. Kebutuhan akan ruang terbuka hijau akan semakin meningkat seiring peningkatan lahan terbangun. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat kesesuaian kecukupan kebutuhan ruang terbuka yang ada pada saat ini dengan standar yang telah ditetapkan, yang dianalisis kondisi eksiting ruang terbuka hijau.
BAB III
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah administrasi Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara. Secara astronomis Kota Pematangsiantar terletak pada 2°53’20” sampai dengan 3°01’00” Linang Utara dan 99°1’00” sampai dengan 99°6’35” Bujur Timur, memiliki 8 kecamatan dan 53 kelurahan dengan luas keseluruhan wilayah 79,971 Km². Jumlah penduduk yang meningkat setiap tahun menjadi alasan peneliti memilih Kota Pematangsiantar sebagai objek penelitian. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wilayah administrasi Kota Pematangsiantar yang memiliki 8 kecamatan dan 53 kelurahan dengan luas keseluruhan wilayah 79,971 Km². Populasi ini sekaligus dijadikan sampel penelitian. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional
Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah kondisi eksisting ruang terbuka hijau dan kebutuhan ruang kebutuhan hijau. Defenisi Operasional
Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik tanaman yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Kebutuhan luasan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan setiap penduduknya, yaitu 2000 orang manusia atau 5 m² per penduduk membutuhkan 1 ha ruang terbuka hijau. Standar ketentuan luas ruang terbuka hijau didasarkan pada Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007, yaitu ruang terbuka hijau minimal menempati 30% dari luas wilayah perkotaan. Kondisi eksisting ruang terbuka hijau merupakan kondisi sebenarnya pada saat ini yang terkait dengan keberadaan ruang terbuka hijau yang ada. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer berupa kondisi penggunaan lahan pada masa sekarang berupa foto dokumentasi yang diperoleh dengan pengamatan langsung di lapangan (observasi). Data sekunder berupa peta administrasi Kota Pematangsiantar, peta rencana tata ruang wilayah Kota Pematangsiantar, data statistic yaitu luas wilayah, data penduduk, dan jumlah kendaraan, serta Citra Ikonos. Data-data sekunder diperoleh dari BAPPEDA, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Pematangsiantar. Untuk lebih jelasnya data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat kita lihat pada tabel 3. Tabel 3. Jenis dan Sumber Data Penelitian No. Data Jenis Sumber Foto Dokumen Lapangan Kantor 1 Penduduk dan Jumlah Kendaraan √ BPS 2 RTRW dan Peta √ BAPPEDA 3 Eksisting RTH √ Observasi 4 Citra Ikonos softcopy BLH Teknik Analisis Data
Analisis Penutupan Lahan
Penutupan lahan merupakan kondisi permukaan bumi yang menggambarkan kenampakan pemanfaatan lahan dan tumbuhan yang tumbuh di atasnya, data ini didapat dengan cara penafsiran foro udara dan penafsiran citra resolusi tinggi. Analisis penutupan lahan dilakukan untuk memperoleh informasi penutupan lahan eksisting. Informasi wilayah yang bervegetasi diperlukan untuk mengetahui kecukupan vegetasi dalam memenuhi standar kebutuhan ruang terbuka hijau yang dihasilkan. Bahan yang digunakan adalah citra Ikonos Kota Pematangsiantar tahun 2010. Langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Pemotongan citra, atau cropping dilakukan untuk membatasi daerah penelitian. Citra kemudian didigitasi sesuai dengan penutupan lahannya. Jenis penutupan lahan dikelaskan menjadi: 1) lahan bervegetasi pohon, 2) lahan bervegetasi semak, 3) lahan kososng tidak bervegetasi, 4) lahan terbangun. Pengecekan lapangan. Pengecekan lapangan ini dilakukan untuk memeperoleh informasi dan kondisi Kota Pematangsiantar terkini secara nyata. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dicatat koordinatnya, untuk kemudian dilakukan koreksi pada peta penutupan lahan yang akan dihasilkan.
Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Analisis Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah
Analisis kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah didasarkan pada standar ideal ruang terbuka hijau kawasan perkotaan yaitu minimal 30% dari luas wilayah perkotaan sesuai yang ditetapkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang No.26 Tahun 2007 (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2007). Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah adalah sebagai berikut: (1) Ruang Terbuka Hijau diperkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau public dan privat, (2) Proporsi rang terbuka hijau pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau public, dan 10% ruang terbuka hijau privat. Analisis Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Penentuan kebutuhan luasan ruang terbuka hijau dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan ekologis dan metode bunga berganda (Rijal, 2008). Pendekatan ekologis berdasarkan atas kemampuan tumbuhan dalam menyerap atau menetralisir CO2 yang dihasilkan oleh manusia yaitu 1 ha ruang terbuka hijau mampu menyerap CO2 yang dikeluarkan oleh 2000 orang manusia atau 5 m² per penduduk. Metode Geometric rate of growth atau metode bunga berganda merupakan salah satu metode yang dipergunakan untuk memprediksi jumlah penduduk, yaitu dengan rumus: Pt = Po(1+r)t Dimana : Pt=Penduduk tahun t Po= Penduduk tahun awal/dasar R= rasio pertumbuhan penduduk T=satuan waktu yang digunakan Untuk menentukan luas kebutuhan ruang terbuka hijau dilakukan dengan mengalikan jumlah penduduk di masa yang akan datang setelah dihitung dengan metode bunga berganda dengan standar luas ruang terbuka hijau per penduduk
Analisis Kebutuhan RTH berdasarkan Pemenuhan Oksigen Pendek Analisis kebutuhan ruang terbuka hijau juga dilakukan dengan melihat permaslahan lingkungan yaitu luas ruang terbuka hijau berdasarkan masalah lingkungan yang muncul seperti masalah kekurangan air bersih dan udara yang bersih. Maka untuk mengetahuinya, pendekatan yang digunakan adalah berdasarkan masalah pencemaran udara akibat jumlah penduduk dan kendaraan bermotor yang semakin meningkat. Dimana luasan ruang terbuka hijau ditentukan berdasarkan pendekatan pemenuhan kebutuhan oksigen. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung pemenuhan kebutuhan oksigen adalah (Kunto dalam Baharuddin, 2011) : L=((0,04xP)+ (0,03xK))/20 Dimana : L = Luas RTH (Ha) 0,04= Kebutuhan rata-rata oksigen per kendaraan (kg/jam) P= Jumlah Penduduk 0,03=Kebutuhan rata-rata oksigen per kendaraan (kg/jam) K=Jumlah kendaraan bermotor 20=kemampuan rata-rata 1 Ha hutan menghasilkan oksigen (kg/jam
DAFTAR PUSTAKA
Ariyadi, 2009. Ruang Terbuka Hijau, (Online),(http://semuatentangkota.blogspot.com/search/label/Ruang%20Terbuka%20Hijau diakses Jum’at 30 Maret 2012) Badan Lingkungan Hidup Kota Pematangsiantar, 2009. Lokasi RUang Terbuka Hijau (RTH) kota Pematangsiantar Tahun 2009. Pematangsiantar: BLH Kota Pematangsiantar Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, 2009. Kota Pematngsiantar dalam Angka Tahun 2009. Pematangsiantar: BPS Kota Pematangsiantar Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, 2012. Kota Pematngsiantar dalam Angka Tahun 2012. Pematangsiantar: BPS Kota Pematangsiantar Baharuddin, Alfini. 2011. Kebutuhan Ruang Terbuka HIjau Pada Kawasan Pusat Kota Jayapura. Jurnal Bumi Lestari. Jayapura: Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, 11 (2):297-305 Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:05/PRT/M/2008 tentang Pedeoman Penyediaan dan Pemanfaatan RUang Terbuka HIjau di Kawasan Perkotaan. Direktoral Jenderal Penataan Ruang. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum Djamal Irwan, Z. 2008. Tantangan Lingkungan Dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta: PT. Bumi Aksara Fandeli, Chafid (dkk). 2004. Perhutanan Kota. Jogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM Gratimah, RD, Guti. 2009. Analisis Kebutuhan Hutan Kota Sebagai Penyerap Gas CO2 Antropogenik Di Pusat Kota Medan. Tesis.Medan : Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Hakim, Rustam. 2000. Ruang Terbuka Hijau, (Online), (http://rustam2000.wordpress.com/ruang.terbuka.hijau/ diakses Selasa 17 April 2012) Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah Perkotaan Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar, 2009. Kota Pematngsiantar dalam atngka Tahun 2009. Pematangsiantar: BPS Kota Pematangsiantar